Wednesday, October 13, 2010

Aku, Rizki, dan Koran [Part 1]

April 2010

Jam di HP-ku menunjukkan pukul 11 pagi. Aku sudah selesai kuliah sesi satu, baru akan ada kuliah lagi jam 1 nanti. Sekarang aku mau ke Bank BRI di fakultas psikologi, aku harus mentransfer sejumlah uang ke Ibuku. Hmm,,, tapi hujan, dan bikun tidak kunjung datang.

Ga lama kemudian, sebuah bikun datang juga akhirnya… Ahh,, tapi bikun Poltek teryata, ga sampai psiko nanti. Dari bikun itu turun beberapa orang, dan ada satu anak yang menarik perhatianku. Seorang anak usia SD sepertinya, membawa tumpukan Koran, bergegas berlari menuju halte menghindari air hujan yang bisa membasahi korannya. Dia berdiri tepat di samping tempat aku duduk sekarang, berusaha mengibas-kibaskan air di rambut, baju, dan sedikit korannya. Setelah selesai dengan aktivitas singkatnya itu, dia melihat ke sekitar, sampai akhirnya dua pasang mata kami bertemu. Dia tersenyum kepadaku sejenak, kubalas itu. Sejurus kemudian dia telah duduk di sampingku, dengan senyum tetap tersenyum di bibirnya, ia menawarkan Koran padaku dengan lugu.

“Ka, Koran Ka?” katanya.

Aku terdiam bingung.. Hmm.. aku kan ga telaten baca Koran. Kalo toh selama ini aku beberapa kali beli Koran, itu hanya karena aku nggak tega melihat si Penjual Korannya yang nggak laku2… trus habis aku beli. Selanjutnya nasib itu Koran cuma dua: aku buka-buka sebentar lalu berakhir di tumpukan kertas di lemariku; atau jadi bungkus barang. Hehe. Akhirnya, dengan niat yang sama, aku putuskan untuk membeli sebuah Koran.

“Ada Koran apa aja, de?” basa-basiku.

“Tempo, Kompas, Sindo?”

“ Hmmm,,, Kompas boleh deh. Berapa?”

“Tiga ribu lima ratus, Ka.” sembari mengambilkan sebuah Koran yang aku mau.

“Ok…” mengambil Koran yang diserahkannya. Kemudian aku mencari uang receh yang biasanya aku selipin di saku tasku. Ah, nemu, lima ribu rupiah.

“Ini, de.”

“Makasih ka,” lalu aku liat dia sibuk mencari uang kembalian.

“Eh, ga usah de, ambil aja kembaliannya”

“Makasih ka,” jawabnya sumringah.

Biasanya, kegiatan formalitas itu akan berakhir di situ, tapi bis kuning yang aku tunggu tak kunjung pula datang. Jadi aku harus terlibat percakapan lebih panjang dengannya.

“Nama kamu siapa?”

“Rizki, kak.”

“Rumah kamu dimana?”

“Citayam.” Hmm… lumayan juga dari citayam ke UI.

“Naik apa ke sini?” tanyaku lumayan penasaran.

“Kereta, kak, yang murah,” jawabnya terlihat jujur.

“Oh… Hmm… masih sekolah?” Satu pertanyaan yang pasti aku lontarkan pada anak-anak ‘seperti dia’.

“Masih ka… “ Alhamdulillah, batinku.

“Kelas berapa?”

“Kelas 6.”

“Wah,,, udah mau Ujian Nasional dong?”

“Iya ka.” Raut wajahnya tiba-tiba berubah setelah aku lontarkan pertanyaan itu. Aku jadi penasaran. Tapi masih aku tahan.

“Berarti, jualan Koran buat sekolah ya?” tanyaku penuh selidik.

“Iya ka, saya lagi butuh uang buat bayar biaya ujiannya itu.” Oh,, itu rupanya. Tapi, dia jujur ga yaa… Aku ragu, tapi dia terlihat tulus.

“Hmm,,, emang ga dikasih sama bapak ibu kamu?”

“Bapak Ibu saya ga punya uang ka.”

“Emang mereka kerja apa, de?”

“Bapak saya kerja serabutan ka, ibu saya ga kerja.”

“Hmm,,, emang berapa bayarnya?” Haduh, kebiasaanku muncul deh. Bisa ga si, aku ga jadi orang yang ga tegaan? Merutuki diriku sendiri.

“Delapan puluh ribu,kak.” Hmm,,, banyak juga… Aku jadi pingin bantu. Tapi aku ga punya. Ada si, tapi kan mau dikirim ke Ibu. Duh, gmn ya? Aku lihat sekali lagi wajahnya, terlihat sendu, dan jujur. Dia terlihat seperti anak baik-baik dan cukup cerdas sepertinya. Tidak terlihat seperti anak jalanan nakal yang suka ngibul buat dapet uang. Hhhh… kenapa si perasaan ini mudah sekali muncul? Aku yakin aku akan menyesal berhari-hari kalau aku tidak melakukan apa-apa untuknya.

Ah, aku teringat Bu Tina, orang tua muridku yang berjanji akan mentransfer uang gaji ngajarku bulan Maret. Beliau sudah transfer belum ya? Tanpa menunggu lama lagi, segera kukirimkan sms kepada Beliau.

“Kamu sekolah dimana Rizki?” kulanjutkan pembicaraan sembari menanti sms balasan dari Bu Tina.

“SD N Citayam, kak.”

“Lho,,, kamu ga sekolah hari ini?”

“Ga kak, lagi ada pertemuan wali murid”

“Ibu kamu dateng?”

“Ga kak, soalnya belum punya uang, takutnya disuruh bayar.”

“Emang kapan paling telat bayar?”

“Harusnya hari ini, kak.”

“Hmm…”

Aku gelisah sendiri. Balasan sms yang ku tunggu belum juga masuk. Biasanya Bu Tina selalu cepat balas sms. Sekian detik kemudian, HP-ku bergetar. Ah, ini dia. Sudah ditransfer! Alhamdulillah, Rizki, kamu beruntung hari ini. Aku tiba-tiba menjadi girang.

“Rizki, kamu tunggu di sini sebentar ya…”

“Kenapa, kak?”

“Udah, pokoknya kamu tunggu kakak di sini, jangan kemana-kemana sampai kakak balik ke sini ya.. Ok?”

“Ya kak, “ jawabnya patuh meskipun terlihat bingung.

Bersambung. . .

No comments:

Post a Comment