Thursday, October 14, 2010

Essay K2N-ku


Sebatik, Pulau Kecil Kaya yang Nyaris Terabaikan

oleh Yulita Rizki Prawidyanti, 0706271336

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, jumlah pulau di Indonesia saat ini diketahui mencapai 17.480. Jumlah ini kemungkinan akan berkurang karena angka sebelumnya itu hanya estimasi dengan menggunakan satelit. Hal ini dinyatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi saat memaparkan Kinerja Lima Tahun Sektor Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu 26 Agustus 2009. Sejauh ini jumlah pulau milik Indonesia yang telah diberi nama dan terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 4.981. Sisanya, menurut Freddy, akan selesai diberikan nama dan didaftarkan ke PBB pada tahun 2012.[1] Di antara ribuan pulau tersebut, terdapat beberapa pulai kecil yang menjadi perbatasan Negara. Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.[2]

Potensi pulau-pulau kecil di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 pulau dari sejumlah 17.508 pulau (Kusumastanto, 2003). Wilayah gugusan pulau-pulau terpencil tersebut secara ekonomis mempunyai potensi yang sangat kaya akan lahan yang cukup luas, sumber laut, sumber daya tambang, dan pariwisata. Namun, saat ini, pembangunan nasional belum tersebar secara merata hingga ke pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan. Pulau-pulau ini belum tersentuh oleh proses pembangunan, keterbatasan akses informasi, komunikasi, penerangan, dan teknologi masih tinggi, apalagi perkembangan teknologi. Akibatnya tidak jarang masyarakat pulau-pulau kecil masih jauh tertinggal dari kemajuan bidang sosial, ekonomi, dan budaya dari daerah lain. Bahkan beberapa diantaranya mulai mengadopsi budaya dari negara tetangga. Hal ini jika terus dibiarkan akan mengancam kesatuan NKRI karena pulau-pulau tersebut merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, jika berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, pulau-pulau terpencil ini bukan saja akan menjadi sumber pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.

Minimnya perhatian pemerintah (baik pusat maupun daerah) Indonesia terhadap pulau-pulau ini akan menyebabkan penduduk setempat terkikis nasionalismenya. Rasa cinta mereka terhadap Indonesia akan berkurang. Pada akhirnya rasa nasionalisme mereka akan semakin luntur bahkan pupus, dan dengan demikian secara praktis kebanggaan menjadi bagian dari NKRI pun dapat hilang. Mereka tidak akan lagi merasa sebagai warga Indonesia. Kondisi yang demikian akan sangat membahayakan bagi ketahanan dan integritas nasional. Penguatan semangat kebangsaan dan menjaga kedaulatan NKRI sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan kawasan perbatasan, baik di wilayah daratan maupul pulau-pulau terluar. Karena itu demi menjaga keutuhan NKRI dan memelihara semangat kebangsaan, sangatlah relevan dan penting bagi pemerintah agar memberikan perhatian khusus atas kawasan-kawasan perbatasan dan wilayah pulau-pulau kecil di wilayah terluar Nusantara.

Indonesia seharusnya belajar dari tragedi-tragedi lepasnya pulau-pulau kecil di perbatasan yang dirampas oleh Negara tetangga. Setidaknya, ada empat kasus yang "memaksa" pemerintah mulai memberikan perhatian lebih terhadap pulau-pulau kecil di perbatasan Negara, yakni sengketa kepemilikan pulau Sipadan-Ligitan (2002), eksodus ratusan ribu tenaga kerja, sengketa blok Ambalat (2005), dan Asykar Wataniah (2007). Lepasnya dua PPKB yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia merupakan pelajaran besar bagi Bangsa Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan. Indonesia akhirnya harus melepaskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia, setelah Mahmakah Internasional (MI) memutuskan sebuah keputusan final dan mengikat mengenai kepemilikan kedua pulau tersebut. Sidang MI berlangsung di Den Haag, Belanda, dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag atau sekitar pukul 16.00 WIB, dan berakhir sekitar pukul 17.50 WIB dipimpin Gilbert Guillaume dari Perancis. Sementara itu pukul 18.30 WIB, Menlu Hassan Wirajuda langsung memberikan keterangan pers mengenai jalannya persidangan tersebut. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation). Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia. Berdasarkan pertimbangan Effectivitis, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Meskipun MI menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu), tetapi MI menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 menit 10 detik LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai Timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Dari kejadian ini seharusnya Indonesia belajar, bahwa mempertahankan eksistensi PPKB dalam kepemilikan NKRI tidak cukup hanya dengan mengatur perbatasan Negara. Namun, Indonesia harus memberikan perhatian lebih terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan warga di pulau-pulau tersebut.

Salah satu pulau kecil perbatasan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah Pulau Sebatik. Pulau Sebatik merupakan pintu gerbang Indonesia di Kalimantan, tepatnya berada di bagian Utara Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Negeri Sabah Malaysia. Uniknya, status kepemilikan pulau itu terbagi dua, wilayah utara pulau itu seluas 187,23 Km2 menjadi milik Malaysia, sedang wilayah bagian selatan seluas 246.61 Km2 adalah milik Indonesia. Di Desa Aji Kuning Pulau Sebatik, sedikitnya terdapat 300 kepala keluarga yang berada tepat di garis perbatasan Indonesia dan Malaysia. Bahkan ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan sehingga ruang tamunya masuk wilayah Indonesia, sedangkan dapurnya ada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering muncul isu internasional menyangkut status kepemilikan Pulau Sebatik, yang mengakibatkan hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Namun masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tak terpengaruh, mereka tetap menjalankan hubungan yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebalik dan Tawau ternyata masih bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.

Potensi kekayaan alam pulau Sebatik amat besar, terutama penghasilan sawit dan perikanan. Sayangnya kekayaan alam yang diperoleh dari jutaan ikan di laut dan darat berupa penghasilan sawit, kelapa dan kopi tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Penghasilan tersebut tidak membuat warga sekitar menjadi sejahtera, tetapi malah negara lain yang makmur dan kaya. Secara ekonomi masyarakat Pulau Sebalik sangat bergantung kepada Malaysia khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti ikan, sawit dan coklat di jual ke negeri jiran. Masyarakat Sebatik juga membeli berbagai kebutuhan sehari-hari dari Tawau, sehingga tak heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya lebih tinggi. Secara geografis, Pulau Sebatik lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan dengan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 1,5 jam dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos tiga kali lipat. Sebenarnya warga sangat memerlukan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan penjualan hasil bumi, sehingga warga tidak perlu menjual hasil buminya ke Tawau. Namun, hal ini belum mandapatkan perhatian dari pemerintah.

Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di Pulau Sebatik adalah jika pada malam hari menyaksikan Kota Tawau yang bermandikan cahaya dengan gedung-gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di Pulau Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan rusak serta pelayanan kesehatan dan pendidikan yang minim, menambah terkucilnya masyarakat Sebatik ditengah gemerlapan cahaya kemakmuran Negara jiran di depan matanya.

Pulau Sebatik dan pulau-pulau kecil lain yang serupa memerlukan sentuhan akademisi dan praktisi dari mahasiswa yang merupakan Agent of Change. Jika pemerintah tidak bisa turun tangan, sudah sepantasnya mahasiswa bertindak. Mahasiswa yang notabene perpanjangan tangan-tangan rakyat kecil harus turut andil memberikan sedikit sumbangsihnya bagi masyarakat. Selain itu, Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan tertinggi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi-nya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Universitas Indonesia, sebagai pengemban tugas untuk menyiapkan generasi bangsa yang memiliki ketrampilan dan kepemimpinan, serta tanggap dalam menjawab permasalahan bangsa dan tantangan global, mencoba memberikan sedikit sumbangsihnya untuk pembangunan dan pertahanan kedaulatan NKRI dengan program K2N-nya. Setelah sukses melaksanakan K2N 2009 di Pulau Miangas, saat ini Universitas Indonesia mencoba ikut serta menjaga keutuhan NKRI dengan mengirimkan mahasiswa-mahasiswa terbaiknya di 12 pulau-pulau terdepan dan perbatasan, salah satunya yaitu Pulau Sebatik yang penuh potensi.

Sebagai salah satu civitas akademisi Universitas Indonesia, saya merasa terpanggil untuk turut peduli menghadapi ancaman terhadap keutuhan NKRI. Mahasiswa tidak seharusnya tinggal diam dan duduk tenang menghadapi bangku kuliah dan textbook. Mahasiswa adalah pemuda. Bagi saya pemuda adalah tulang punggung sekaligus harapan bagi bangsa ini. Saya sungguh berharap agar dapat diberi kesempatan untuk mengamalkan sedikit ilmu yang sudah saya dapatkan selama hampir tiga tahun di perguruan tinggi terbaik bangsa ini. Semoga dengan program, K2N UI 2010 ini, para pemuda calon pemimpin bangsa dapat memberikan solusi terbaik di wilayah-wilayah PPKB yang belum mengenal kata kesejahteraan, salah satunya Pulau Sebatik. Mengutip kalimat Adhyaksa Dault saat kunjungannya ke Sebatik, "Sekarang, kita melihat Tawau bersinar. Nanti, 5 tahun lagi, harapan saya, Tawaulah yang melihat kita. Mereka akan silau melihat Sebatik.”

REFERENSI

Abubakar, Mustafa. (2006). Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Jakarta: Kompas

Anonim. “Menyoal Status Pulau Kecil Di Wilayah Perbatasan” diambil dari web.ipb.ac.id pada tanggal 3 Maret 2010

Hazmirullah. “Pembangunan Daerah Perbatasan Tertinggal Jauh Pulau Sebatik Minta Otoritas Khusus.” diambil dari nunukanzonerscommunity.blogspot.com/.../pulau-sebatik-minta-otoritas-khusus.html pada tanggal 6 Maret 2010

Redaksi. “Satiman Ali Bakal Wujudkan Pulau Sebatik Sebagai Beranda Terdepan Indonesia.” diambil dari http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_ id=3391 pada tanggal 5 Maret 2010

Redaksi. “Sipadan-Ligitan Lepas dari Indonesia, DPR Akan Minta Penjelasan Pemerintah.” diambil dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=5100 pada tanggal 3 Maret 2010

Siregar, Chairil N. “Analisis Potensi Daerah Pulau-Pulau Terpencil dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan, Keamanan Nasional, dan Keutuhan Wilayah NKRI di Nunukan–Kalimantan Timur.” Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, April 2008

Tumiyo. “Pulau Sebatik Juga Butuh Perhatian.” diambil dari bataviase.co.id/detailberita-10567925.html pada tanggal 3 Maret 2010



[2] Karim, Muhammad. “Eksistensi Pulau – Pulau Kecil Di Kawasan Perbatasan Negara” diambil dari http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/TOPIK%20UTAMA%20EKSISTENSI%20PULAU_pa%20muhammad%20karim-new.pdf pada tanggal 4 maret 2010.

No comments:

Post a Comment